Sejarah industri pariwisata di NTB memang tidak setua pariwisata Bali yang telah bermula sejak masa kolonial Belanda. Naniek I. Taufan dalam bukunya yang berjudul Langkah Periwisata NTB Menerobos Pasar Dunia (2009) menjelaskan denyut pariwisata NTB dimulai pada dekade 1970-an. Hal tersebut ditandai dengan datangnya wisatawan baik asing maupun nusantara ke sejumlah pulau-pulau kecil di pesisir barat Lombok. Umumnya para pelancong ini merupakan wisatawan yang berlibur ke Bali dan menjadikan Lombok sebagai tempat persinggahan untuk kemudian kembali lagi ke Bali sebelum pulang ke
negara mereka masing-masing.
Saat itu, kawasan yang kerap dikunjungi adalah
gugusan tiga pulau kecil di Lombok Barat yang kini dikenal sebagai Tiga Gili.
Yakni, Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan yang didatangi menggunakan kapal
laut. Kondisi alam yang indah baik di darat maupun di dasar laut menjadi daya
tarik utama pulau-pulau mungil tersebut. Lokasi Tiga Gili sendiri relatif mudah
dijangkau baik dari Bali maupun Pulau Lombok. Dalam cuaca normal Gili Trawangan
yang menjadi pulau terjauh dari Lombok dapat ditempuh dengan perahu motor dalam
waktu 45-60 menit dari Pelabuhan Bangsal, Pemenang, Lombok Utara. Sedangkan dua
pulau lainnya dapat ditempuh sekitar 30 menit. Sedangkan dari Bali, jarak Tiga
Gili tersebut sekitar satu setengah jam
perjalanan laut menggunakan kapal cepat.
Sejak
saat itu, Tiga Gili menjadi fenomena tersendiri di kalangan wisatawan. Darisinilah
Lombok dan NTB secara bertahap mulai dikenal para wisatawan. Sejumlah objek
wisata baru mulai bermunculan ke permukaan menjadi primadona baru terutama di
Pulau Lombok. Adanya potensi usaha dari
hadirnya wisatawan yang datang dari Bali mulai disambut oleh sejumlah pengusaha
lokal di NTB dengan membuka penginapan dan rumah makan. Sekitar tahun 1975 telah berdiri empat hotel di Lombok Barat,
yakni : Hotel Paradiso (40 kamar) Mataram Hotel (12 kamar), Hotel Pusaka (20
kamar) dan Sasaka Beach dengan 15-20 bungalow.
Sedangkan di Tiga Gili akomodasi pertama baru dibuka tahun 1979. Yakni,
berupa hotel dan restoran dalam naungan Hotel Paradiso di Gili Air.
(Naniek, 2009:14).
Perlahan
tapi pasti nama Lombok semakin dikenal wisatawan. Melihat potensi inilah Pemerintah Daerah
(Pemda) NTB mulai tertarik mengembangkan
pariwisata dengan serius. Pemerintah
mulai membenahi destinasi-destinasi wisata yang ada di Lombok dan Sumbawa pada
tahun 1980. Keinginan Pemda untuk
mengembangkan pariwisata mendapat sambutan positif dari United
Nations Depelovment Programe (UNDP).
Lembaga milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut memberikan
bantuan tenaga ahli untuk menyusun desain dan konsep pengembangan pariwisata
NTB. Hasilnya Pemda NTB berhasil
memetakan wilayah-wilayah potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata.
Hal ini kemudian dituangkan dalam
Peraturan Daerah (Perda) NTB No. 9 tahun 1989 yang membagi NTB dalam 15
kawasan wisata potensial. Yakni sembilan kawasan di Pulau Lombok dan enam
lainnya di Pulau Sumbawa (www.ntbprov.go.id)
Dalam
periode awal tersebut, sejumlah
persoalan kemudian muncul. Yakni hambatan dari masyarakat lokal yang masih
belum sadar wisata. Sebagian masyarakat NTB yang mayoritas Islam saat itu masih
memandang pariwisata sebagai suatu bidang usaha yang dekat dengan kemaksiatan
sehingga harus ditolak kehadirannya. H. Usman pemilik Hotel Paradiso yang juga
ditunjuk pemerintah sebagai pendamping tim ahli dari UNDP kala itu menceritakan
bagaimana kerasnya penolakan dari masyarakat.
‘’Masih
terbatas orang yang mengerti akan pariwisata. Kelompok-kelompok tertentu masih
menganggap negatif pariwisata,’’ ujar Usman. (Naniek, 2009:14).
Karena
itulah pemerintah melalui Kantor Wilayah XX Departemen Pos dan Telekomunikasi
(Deparpostel) NTB yang membidangi kepariwisataan melakukan pendekatan dengan
sejumlah elemen masyarakat. Hal ini dirasa perlu untuk mengkomunikasikan
bagaimana pariwisata yang hendak dikembangkan pemerintah di NTB. Selain itu
pemerintah NTB juga melakukan konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
NTB. Tujuannya agar para tokoh agama ikut ambil bagian dalam menjelaskan kepada
masyarakat mengenai sektor pariwisata.
‘’Pariwisata
masih dipandang akan mendatangkan dosa,’’ kata, Wim Pangkarego Kantor Wilayah
XX Departemen Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) NTB (Naniek, 2009: 15).
Untuk
menjembatani hal tersebut, dalam desain
awal pengembangan pariwisata NTB kegiatan wisata diupayakan tidak berbaur
langsung dengan kehidupan masyarakat. Maksudnya pusat pengembangan pariwisata
pada masa permulaan ini dirancang tidak berada dalam kawasan permukiman.
Sebagai contoh kawasan yang pertama kali dikembangkan adalah Tiga Gili.
Bentuknya, wisatawan diarahkan untuk menikmati keindahan alam sepanjang hari di
tiga pulau tersebut dan dapat kembali ke pulau induk (Lombok) untuk
beristirahat. Selain itu konsep pariwisata berwawasan lingkungan (eco tourism) dipilih agar industri
pariwisata dapat berjalan selaras dengan pelestarian alam.
Kemudian,
untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat dunia tentang persiapan NTB sebagai
daerah wisata serangkaian kegiatan promosi mulai dilakukan baik oleh pemerintah
maupun kelompok masyarakat. Ragam
kegiatan digelar baik di dalam maupun luar negeri. Di Mataram, pemerintah
menyelenggarakan Malam Seni dan Busana NTB pada 26-31 Agustus 1982. Acara ini merupakan
kegiatan promosi wisata pertama yang digelar pemerintah daerah NTB. Kegiatan
tersebut melibatkan sekitar lima ribu pengisi acara yang menampilkan ragam seni
dan budaya NTB. Panitia juga mengundang
sejumlah wartawan, penulis, travel agent
dan para artis ibukota. Sejumlah artis dan perancang busana yang datang saat itu antara lain Iwan Tirta, Popy Darsono, Ramli, Rini S.
Bono, Dewi Motik dan lainnya.Setelah
itu, sekitar tahun 1983 lembaga swadaya
masyarakat dari Jerman datang ke Lombok untuk melakukan pembuatan video
dokumenter berjudul Lombok Today and 100
Years Ago. video ini mengungkap
ragam keunikan dan kekhasan Lombok yang dipublikasikan di sejumlah media
di Eropa sekitar satu tahun. Dengan publikasi ini Lombok semakin dikenal.
Selain itu, di tahun yang sama untuk
pertama kali NTB mengirimkan duta wisata
guna berpromosi pada ajang Pasar Malam
Tong-tong di Den Haag, Belanda.
Acara ini merupakan acara tahunan yang ramai dikunjungi masyarakat Eropa. Setahun kemudian NTB juga mempromosikan diri
pada acara serupa di Berlin, Jerman, yakni
di Internationale Tourismus Borse–Berlin
(ITB-Berlin). (Naniek, 2009: 21).
Disisi
lainnya pemda NTB terus berupaya membuka diri mengajak kalangan berinvestasi di
bidang pariwisata. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan sarana penunjang pariwisata
yang belum mampu disediakan oleh pemerintah. PT. Garuda Indonesia menjadi salah
satu investor pertama yang tertarik untuk membangun hotel berbintang. Garuda
memilih kawasan wisata Senggigi, Lombok Barat yang saat itu masih berupa hutan
dan ladang semak belukar untuk menanamkan investasinya. Di lokasi ini maskapai
penerbangan milik pemerintah tersebut mendirikan Senggigi Beach Hotel pada
tahun 1984. Setahun kemudian hotel tersebut beroperasi dengan 60-80 kamar.
Sebagai pendamping sebuah hotel dibangun
berdampingan dengan Senggigi Beach Hotel. Yakni, Hotel Berugaq Elen dengan 15 bungalow.
Adanya
kegiatan-kegiatan promosi dan pembenahan destinasi wisata yang dilakukan
seperti ini mulai menimbulkan dampak positif terhadap kunjungan wisatawan pada
tahun-tahun berikutnya. Dalam Memorandum Serah Terima Jabatan Kepala
Kantor Wilayah (Kakanwil) XX Deparpostel
NTB yang disampaikan di
Mataram pada 29 Febuari 1996 disebutkan bahwa, tahun 1982 jumlah wisatawan yang
tercatat datang ke NTB sebanyak 2.125
orang. Angka ini terus menunjukkan
peningkatan seiring makin dikenalnya Lombok dan Sumbawa sebagai destinasi
wisata baru. Tahun 1985 jumlah wisatawan
yang datang ke NTB sebanyak 8.822 orang atau meningkat lebih dari empat kali lipat dari empat tahun
sebelumnya. Angka ini terus meningkat
pada 1986 menjadi 13.673 orang dan
25.714 di tahun 1987. Dalam periode ini wisatawan Eropa terutama dari Jerman
dan Belanda menjadi negara asal wisatawan terbanyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar