Memahami
perkembangan pariwisata NTB tidak bisa dipisahkan dari perkembangan industri
pariwisata di Pulau Dewata, Bali. Posisi NTB yang hanya dipisahkan sebuah selat
dengan Bali menjadi penyebabnya. Selain
itu hubungan kekerabatan sosial antar warga dua provinsi bertetangga ini telah
terjalin sejak ratusan tahun silam. Dalam sejarahnya, bagian barat NTB yakni
Pulau Lombok pernah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan dinasti Kerajaan
Karangasem, Bali. Alfons Van der Kraan
(1980) dalam Lombok : Conquest, Colonization
and Underdevelopment 1870-1940 memaparkan kehadiran kerajaan Karangasem
telah ada sejak permulaan abad ke-16. Mereka berhasil mengukuhkan kekuasaan
yang berpusat di pesisir barat Lombok setelah
mengalahkan sejumlah kerajaan
setempat yang lebih dulu berkuasa seperti Pejanggik dan Selaparang. Sekitar
satu setengah abad kemudian dinasti ini runtuh setelah agresi militer Belanda
pada 1894.
Dalam
rentang waktu tersebut relasi sosial antara masyarakat Lombok yang didominasi
oleh mayoritas suku Sasak muslim dengan masyarakat Bali hindu telah terbentuk. Hal inilah yang
membuat warga Bali kini menjadi komunitas dengan jumlah penduduk terbanyak
kedua setelah suku Sasak di Pulau Lombok.
Selain itu aneka ritual budaya masyarakat Bali masih bisa terlihat
hingga kini. Seperti perayaan Nyepi, Galungan, Ciwaratri hingga Pawai Ogoh-ogoh
tetap berjalan seperti di pulau Bali.
Lebih
dari itu jejak peradaban masyarakat Bali masih jelas terlihat di Kota Mataram
dan Lombok Barat. Di lokasi ini sejumlah pura peninggalan kerajaan Karangasem
masih terlihat. Diantaranya dinasti tersebut masih menyisakan Kota Cakranegara
dengan permukiman yang dibangun secara sadar dalam blok-blok seperti papan
catur (grid patern) yang tersusun
rapi menurut kosmologi Hindu Bali. Meskipun kini Cakranegara menjadi subuah
pusat bisnis yang sibuk, namun struktur kota yang telah dibangun berabad silam
masih bisa terlihat hingga saat ini. Kemudian, jejak kerajaan Bali tersebut
juga terlihat dari nama-nama lingkungan (desa/dusun) di Lombok yang mengadopsi
nama-nama tempat di wilayah Karangasem Bali. Seperti Karang Ujung, Tenganan, Pagesangan, Sidemen,
Sindhu, Tohpati dan lainnya.(Suprapto, 2013:71). Kentalnya ‘’aroma’’ Bali di NTB membuat ungkapan para pelaku pariwisata
menyebut ‘’In Bali you can’t see Lombok but in Lombok you can see both,’’ (di
Bali anda tidak bisa melihat Lombok tapi
di Lombok anda bisa melihat keduanya). (Suprapto, 2013:67).
Dalam
buku yang sama Suprapto menambahkan adanya relasi antara masyarakat Lombok
dengan Bali inilah yang menjembatani terjadinya industri pariwisata di NTB. Hal
tersebut masih bisa dilihat dengan peran serta masyarakat Bali di Lombok
sebagai pelaku pariwisata. Kemudian lokasi yang dekat dengan Bali membuat
Lombok dan Sumbawa menjadi daerah ‘’limpahan’’
yang menampung wisatawan yang datang ke Bali. Karena itulah sejak awal,
industri pariwisata NTB tidak dirancang menjadi pesaing Bali, namun sebagai
pelengkap dan mengambil manfaat dari
kedekatan wilayah dengan pusat pariwisata Indonesia tersebut. Malah
dalam periode-periode awal pengembangannya, promosi pariwisata NTB selalu
mengekor pada promosi pariwisata yang dilakukan pemerintah provinsi Bali.
(Naniek I. Taufan, 2009: 26)
Pengaruh
industri Pariwisata Bali terhadap NTB dapat dilihat dari fluktuasi kunjungan
wisatawan di Bali dan Lombok yang kerap berbanding lurus. Dimana jika kunjungan
wisatawan yang datang ke Bali meningkat maka kunjungan para pelancong ke NTB
cenderung meningkat. Demikian halnya ketika kunjungan wisata di Bali menurun
seperti pada peristiwa Bom Bali satu dan dua maka kunjungan wisatawan ke NTB
juga cenderung turun. Jikapun ada data yang berbanding terbalik hanya terjadi
beberapa kali saja terutama pada kasus Bom Bali ketika masyarakat takut
berkunjung ke Bali dan memilih objek-objek wisata di luar kawasan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar