Kamis, 07 Mei 2015

Pengaruh Bali dalam Pariwisata NTB



Memahami perkembangan pariwisata NTB tidak bisa dipisahkan dari perkembangan industri pariwisata di Pulau Dewata, Bali. Posisi NTB yang hanya dipisahkan sebuah selat dengan Bali  menjadi penyebabnya. Selain itu hubungan kekerabatan sosial antar warga dua provinsi bertetangga ini telah terjalin sejak ratusan tahun silam. Dalam sejarahnya, bagian barat NTB yakni Pulau Lombok pernah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan dinasti Kerajaan Karangasem, Bali. Alfons Van der Kraan  (1980) dalam  Lombok  : Conquest, Colonization and Underdevelopment  1870-1940  memaparkan kehadiran kerajaan Karangasem telah ada sejak permulaan abad ke-16. Mereka berhasil mengukuhkan kekuasaan yang berpusat di pesisir barat Lombok setelah
mengalahkan sejumlah kerajaan setempat yang lebih dulu berkuasa seperti Pejanggik dan Selaparang. Sekitar satu setengah abad kemudian dinasti ini runtuh setelah agresi militer Belanda pada 1894.
Dalam rentang waktu tersebut relasi sosial antara masyarakat Lombok yang didominasi oleh mayoritas suku Sasak muslim dengan masyarakat  Bali hindu telah terbentuk. Hal inilah yang membuat warga Bali kini menjadi komunitas dengan jumlah penduduk terbanyak kedua setelah suku Sasak di Pulau Lombok.  Selain itu aneka ritual budaya masyarakat Bali masih bisa terlihat hingga kini. Seperti perayaan Nyepi, Galungan, Ciwaratri hingga Pawai Ogoh-ogoh tetap berjalan seperti di pulau Bali.
Lebih dari itu jejak peradaban masyarakat Bali masih jelas terlihat di Kota Mataram dan Lombok Barat. Di lokasi ini sejumlah pura peninggalan kerajaan Karangasem masih terlihat. Diantaranya dinasti tersebut masih menyisakan Kota Cakranegara dengan permukiman yang dibangun secara sadar dalam blok-blok seperti papan catur (grid patern) yang tersusun rapi menurut kosmologi Hindu Bali. Meskipun kini Cakranegara menjadi subuah pusat bisnis yang sibuk, namun struktur kota yang telah dibangun berabad silam masih bisa terlihat hingga saat ini. Kemudian, jejak kerajaan Bali tersebut juga terlihat dari nama-nama lingkungan (desa/dusun) di Lombok yang mengadopsi nama-nama tempat di wilayah Karangasem Bali. Seperti  Karang Ujung, Tenganan, Pagesangan, Sidemen, Sindhu, Tohpati dan lainnya.(Suprapto, 2013:71). Kentalnya ‘’aroma’’ Bali di NTB membuat ungkapan para pelaku pariwisata menyebut  ‘’In Bali you can’t see Lombok but in Lombok you can see both,’’ (di Bali  anda tidak bisa melihat Lombok tapi di Lombok anda bisa melihat keduanya). (Suprapto, 2013:67).
Dalam buku yang sama Suprapto menambahkan adanya relasi antara masyarakat Lombok dengan Bali inilah yang menjembatani terjadinya industri pariwisata di NTB. Hal tersebut masih bisa dilihat dengan peran serta masyarakat Bali di Lombok sebagai pelaku pariwisata. Kemudian lokasi yang dekat dengan Bali membuat Lombok dan Sumbawa menjadi daerah ‘’limpahan’’ yang menampung wisatawan yang datang ke Bali. Karena itulah sejak awal, industri pariwisata NTB tidak dirancang menjadi pesaing Bali, namun sebagai pelengkap dan mengambil manfaat dari  kedekatan wilayah dengan pusat pariwisata Indonesia tersebut. Malah dalam periode-periode awal pengembangannya, promosi pariwisata NTB selalu mengekor pada promosi pariwisata yang dilakukan pemerintah provinsi Bali. (Naniek I. Taufan, 2009: 26) 
Pengaruh industri Pariwisata Bali terhadap NTB dapat dilihat dari fluktuasi kunjungan wisatawan di Bali dan Lombok yang kerap berbanding lurus. Dimana jika kunjungan wisatawan yang datang ke Bali meningkat maka kunjungan para pelancong ke NTB cenderung meningkat. Demikian halnya ketika kunjungan wisata di Bali menurun seperti pada peristiwa Bom Bali satu dan dua maka kunjungan wisatawan ke NTB juga cenderung turun. Jikapun ada data yang berbanding terbalik hanya terjadi beberapa kali saja terutama pada kasus Bom Bali ketika masyarakat takut berkunjung ke Bali dan memilih objek-objek wisata di luar kawasan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar